PENGANTAR HUKUM KEWARISAN DALAM ISLAM
1.
Pengertian dan
Istilahnya
Waris adalah
berbagai aturan tentang perpindahan hak milik seseorang yang telah meninggal dunia
kepada ahli warisnya (Wirjono Prodjodikoro, 1991: 13). Dalam istilah lain,
waris disebut juga dengan fara’idh yang artinyabagian tertentu yang
dibagi menurut agama Islam kepada semua hak yang menerimanya (Moh. Rifa’i,
Zuhri, dan Solomo, 1978: 242).
Dari pengertian
diatas diperkuat oleh salah satu hadis Nabi SAW., yaitu:
اِنَّ اللهَ قَدْ اَعْطَى كُلَّ ذِ يْ حَقٍ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
. (روه اً حمد واً بوداودوالترمذى وابن ما جه )
“Sesungguhya allah SWT. telah memberi kepada
orang yang berhak atas haknya. Ketahuilah! Tidak ada wasiat kepada ahli waris.
(H.R. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)”.
warisan"0121" |
Menurut
Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Fannani (Jilid 2, 2003: 1112), maka fara’idh adalah sebgaia berikut:
جَمْعُ فَرِ يْضَةٍ بِمَعْنَى مَفْرُ وْ ضَةٍ. وَالْفَرْ ضُ
:اَلتَّقْدِ يْرُ. وَثَرْعا هُنَا. نَصِيْبٌ مُقَدَّ رٌلِلْوَارِث.
“Fara’idh adalah bentuk jamak dari “faridhah”, sedangkan makna yang
dimaksut adalah mafrudhah, yaitu pembagian yang telah dipastikan. Al-Fara’idh,
menurut istilah bahasa adalah “kepastian” sedangkan menurut istilah syara’
artinya bagian-bagian yang telah dipastikan untuk ahli wari”.
Kata “warits" dari “yaritsu –
irtsan – wamiratsan’ sebagai mana terdapat dalam Al-Qur’an surat An-Naml ayat
16:
y^Íurur ß`»yJøn=ß y¼ãr#y ( tA$s%ur $ygr'¯»t â¨$¨Z9$# $oYôJÏk=ãæ t,ÏÜZtB Îö©Ü9$# $uZÏ?ré&ur `ÏB Èe@ä. >äóÓx« ( ¨bÎ) #x»yd uqçlm; ã@ôÒxÿø9$# ßûüÎ7ßJø9$# ÇÊÏÈ
“Dan Sulaiman telah mewarisi Daud,
dan Dia berkata: "Hai manusia, Kami telah diberi pengertian tentang suara
burung dan Kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar
suatu kurnia yang nyata".
Maksudnya Nabi Sulaiman menggantikan kenabian
dan kerajaan Nabi Daud a.s. serta mewarisi ilmu pengetahuannya dan kitab Zabur
yang diturunkan kepadanya.
Juga
diterangkan dalam Al-Qur’an dalam surat Al-Qashash ayat 58:
öNx.ur $uZò6n=÷dr& `ÏB ¥ptös% ôNtÏÜt/ $ygtGt±ÏètB ( ù=ÏFsù öNßgãYÅ3»|¡tB óOs9 `s3ó¡è@ .`ÏiB óOÏdÏ÷èt/ wÎ) WxÎ=s% ( $¨Zà2ur ß`øtwU úüÏOͺuqø9$# ÇÎÑÈ
“Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang telah Kami
binasakan, yang sudah bersenang-senang dalam kehidupannya; Maka Itulah tempat
kediaman mereka yang tiada di diami (lagi) sesudah mereka, kecuali sebahagian
kecil. dan Kami adalah Pewaris(nya)”
Maksudnya: sesudah mereka hancur
tempat itu sudah kosong dan tidak dimakmurkan lagi, hingga Kembalilah ia kepada
pemiliknya yang hakiki Yaitu Allah.
2.
Sejarah
Kewarisan Sebelum dan Sesudah Islam
Tata aturan
pembagian harta pusaka di dalam masyarakat jahiliyah, sebelum Islam datang,
didasarkan atas nasab dan kekerabatan, dan itu hanya diberikan kepada keluarga
yang laki-laki saja, yaiatu mereka yang lelaki yang sudah dapat memanggul
senjata untuk memeprtahankan kehormatan
keluarga, dan melakukan peperangan serta merampas harta peperangan. Orang-orang
perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan pusaka. Bahkan orang-orang perempuan,
yaitu istri ayah atau istri saudara dijadikan harta pusaka.
Dan masih terdapat beberapa riwayat semacam itu. Hal
ini menjadi kebiasaan di dalam zaman jahiliyah. Tetapi ketika Islam datang, itu
dihapuskan. Kekerabatan lelaki inilah yang menjadi syarat bagi waris-mewarisi
di zaman kahiliyah. Termasuk janji atau pengangkatan bersaudara dan juga
pengangkatan anak.
Pengangkatan anak berlaku di kalangan jahiliyah dan
apabila sudah dewasa si anak angkat mempunyai hak yang sepenuh-penuhnya
sebagaimana disyaratkan oleh bapak yang mengangkatnya. Dan karena itu apabila
bapak angkat ini meningggal, anak angkat mempunyai hak mewaris sepenuh-penuhnya
atas harta benda bapak angkatnya. Demikianlah di awal-awal Islam hal ini masih
berlaku.
Ketika nabi Muhammad SAW hijrah, demikian pula para
sahabat-sahabatnya, Nabi Muhammad mempersaudarakan antara kaum muhajirun dan
kaum Anshor. Dan dikatakan persaudaraan inipun oleh nabi Muhammad SAW
dijadikannya sebab unutk pusaka-mempusakai antara mereka.
Tentu saja waris mewarisi dari persaudaraan yang
demikian itu hanya apabila lelaki dan tentu saja yang sudah dewasa. Sedang
tentang pengangkatan anak, masalah pengangkatan ini dihapus oleh Islam.
Artinya, pengangkatan anak itu tidak menyebabakan si anak angkat berkedudukan
sebagai anak kandung, ia tetap sebagai orang lain.
0 komentar: